Fatwa Qardhawi: Hubungan Seksual Suami-Isteri
Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-isteri itu pengaruhnyaamat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan
atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan
hubungan suami-isteri.
Kesalahan yang bertumpuk boleh mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan
keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia
dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya.
Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak,
tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan
seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu
kotor. Oleh kerana itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan
dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk
selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.
Nabi SAW telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal Allah
daripada kamu dan aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu.
Tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi
wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku,
maka dia bukan termasuk golonganku."
Islam telah menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan,
mengenai hubungannya dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya
dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana disabdakan Nabi SAW, "Di kemaluan kamu itu ada sedekah
(pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika
kami bersetubuh dengan isteri akan mendapat pahala?" Rasulullah SAW
menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan)
itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat
pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak
memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap
pemalu dan dapat menahan diri.
Kerananya diharuskan bagi wanita menerima dan mentaati panggilan suami.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, "Jika si isteri dipanggil oleh suaminya
kerana perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak."
(HR Tirmidzi)
Nabi SAW menganjurkan supaya si isteri jangan sampai menolak kehendak
suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya
menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi SAW bersabda, "Jika suami mengajak tidur si isteri lalu dia menolak, kemudian
suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi."
(Muttafaq Alaih).
Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal,
misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya
menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah
Tuhan bagi hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan
menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur
tersebut.
Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang isteri yang berpuasa sunat tanpa
seizin suaminya, kerana baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya
daripada mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, "Dilarang bagi si isteri
(puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (Muttafaq Alaih)
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak
wanita (isteri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan
kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau
bersabda, "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (isterimu)
ada hak."
Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya' mengenai adab
bersetubuh, berkata, "Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah
dan berdoa, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari
syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau berikan kepadaku."
Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului
dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri
mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama
dapat menikmati dan merasa puas."
Menurut Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah:
1) Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan
menurut takdir Allah.
2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesihatan badan jika ditahan terus.
3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di syurga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan
nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.
Nabi SAW bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan
pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan
dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak
bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya."
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak
bersifat konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan
atau pendapat masa kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal
hubungan seksual di antara kedua pasangan, suami-isteri, yang telah diterangkan
dalam Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan
peraturan keluarga.
Firman Allah SWT: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, kerana itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan
kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya..." (QS Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara
suami-isteri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: "Mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS Al-Baqarah: 187)
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-Baqarah: 222-223)
Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat
di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat
dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu
dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (QS Al-Baqarah: 223)
Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-
undang atau peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana