TANAH SUCI DAN GEMPA BUMI
Beberapa tahun lalu, saya pernah membimbing jamaah umroh seorang muallaf berasal dari Bali yang sebelumnya beragama Hindu. Dia seorang dosen ahli geologi dan mengajar mata kuliah geologi pada mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Dia mengaku bahwa dirinya mengenal karakter setiap batu yang ada di bumi ini. Mulai dari batu karang yang terdapat di dalam samudera, hingga bentuk batu yang berada di atas gunung tertinggi, seperti Himalaya. Singkat kata, semua batu yang ada di dalam dan di atas bumi ia mengenalnya.
Suatu saat, dia meminta saya untuk mengantarnya ke Hajar Aswad, karena ingin sekali dia mencium batu yang banyak dicium oleh jutaan kaum muslimin dari seluruh dunia. Ia pun berhasil mencium Hajar Aswad yang terletak di salah satu sudut (rukun) Ka’bah, yang dinamakan rukun hajar aswad.
Usai keluar dari Masjidil Haram dan kembali ke hotel, ia mengaku kepada saya, bahwa karakter batu ini sangat asing. Sangat berbeda dengan semua batu yang selama ini ia pelajari dan ketahui. Dengan sedikit ilmu yang saya ketahui, saya mencoba menjelaskan, bahwa dalam suatu hadist Nabi saw dijelaskan, bahwa batu itu bukan batu dunia, akan tetapi batu yang berasal dari surga. “Jadi, wajar jika karakter batu itu asing buat Bapak, karena ia bukan batu dunia tetapi dari surga” timpal saya menjelaskan keanehan yang ia temukan. Dia pun mengangguk-anggukan kepalanya seperti tanda setuju.
Saat ke Madinah, jamaah, kami ajak berkunjung ke Mantiqoh Baydho atau yang disebut Jabal Maghnit (saat itu belum ada larangan Pemerintah Arab Saudi mengunjungi Jabal Magnit). Ia adalah daerah 20 km di luar Kota Suci Madinah dari arah Jabal (gunung) Uhud. Di Kawasan Jabal Manghnit ini terdapat gunung yang mengandung medan maghnit. Untuk membuktikan bahwa Kawasan gunung itu mengandung maghnit, supir bis yang membawa kami mendemonstrasikan bisnya. Bis pun bergerak sedikit-demi sedikit hingga meluncur dengan kecepatan 110 km perjam, tanpa digas, dan posisi jalan pun rata (tidak menurun).
Setelah turun dari bis. Muallaf tadi melihat sekeliling kawasan tersebut, lalu dia mengambil setangkai dahan, dan menulis goresan di tanah berpasir, sambil menjelaskan, “Sebenarnya, secara geologis, dataran tanah Makkah dan Madinah ini adalah lempengan yang berpotensi gempa bumi. Dengan karakter tanah dan bebatuan serta perbukitan yang saya lihat, daerah ini sangat berpotensi gempa bumi?’. Lalu para jamaah umroh yang mendengar penjelesan itu bertanya, “Lalu kenapa disini jarang terdengar ada bencana gempa bumi dibanding di Indonesia.?” Dia menjawab, “Saya mendengar dari para ustadz, jika suatu daerah dipenuhi dengan zikir kepada Allah swt, maka ia akan terhindar dari bencana alam. Begitu kan ustadz?” sambal melihat ke arah saya. Saya pun mengangguk-angguk tanda setuju.
Dalam sejarah, Madinah pernah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab pun mengetukkan tongkatnya ke bumi dan berkata, “Wahai bumi, adakah aku tidak berbuat adil?”. Lalu berkata lantang kepada orang-orang, “Wahai penduduk Madinah adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian.” (Ibnu al-Hajar al-Asqalani, Fath-al Baari IX/244).
Muhammad Jamhuri
Madinah, Senin 6 Agustus 2018
Musim Haji 2018 M/1439 HTa
Beberapa tahun lalu, saya pernah membimbing jamaah umroh seorang muallaf berasal dari Bali yang sebelumnya beragama Hindu. Dia seorang dosen ahli geologi dan mengajar mata kuliah geologi pada mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Dia mengaku bahwa dirinya mengenal karakter setiap batu yang ada di bumi ini. Mulai dari batu karang yang terdapat di dalam samudera, hingga bentuk batu yang berada di atas gunung tertinggi, seperti Himalaya. Singkat kata, semua batu yang ada di dalam dan di atas bumi ia mengenalnya.
Suatu saat, dia meminta saya untuk mengantarnya ke Hajar Aswad, karena ingin sekali dia mencium batu yang banyak dicium oleh jutaan kaum muslimin dari seluruh dunia. Ia pun berhasil mencium Hajar Aswad yang terletak di salah satu sudut (rukun) Ka’bah, yang dinamakan rukun hajar aswad.
Usai keluar dari Masjidil Haram dan kembali ke hotel, ia mengaku kepada saya, bahwa karakter batu ini sangat asing. Sangat berbeda dengan semua batu yang selama ini ia pelajari dan ketahui. Dengan sedikit ilmu yang saya ketahui, saya mencoba menjelaskan, bahwa dalam suatu hadist Nabi saw dijelaskan, bahwa batu itu bukan batu dunia, akan tetapi batu yang berasal dari surga. “Jadi, wajar jika karakter batu itu asing buat Bapak, karena ia bukan batu dunia tetapi dari surga” timpal saya menjelaskan keanehan yang ia temukan. Dia pun mengangguk-anggukan kepalanya seperti tanda setuju.
Saat ke Madinah, jamaah, kami ajak berkunjung ke Mantiqoh Baydho atau yang disebut Jabal Maghnit (saat itu belum ada larangan Pemerintah Arab Saudi mengunjungi Jabal Magnit). Ia adalah daerah 20 km di luar Kota Suci Madinah dari arah Jabal (gunung) Uhud. Di Kawasan Jabal Manghnit ini terdapat gunung yang mengandung medan maghnit. Untuk membuktikan bahwa Kawasan gunung itu mengandung maghnit, supir bis yang membawa kami mendemonstrasikan bisnya. Bis pun bergerak sedikit-demi sedikit hingga meluncur dengan kecepatan 110 km perjam, tanpa digas, dan posisi jalan pun rata (tidak menurun).
Setelah turun dari bis. Muallaf tadi melihat sekeliling kawasan tersebut, lalu dia mengambil setangkai dahan, dan menulis goresan di tanah berpasir, sambil menjelaskan, “Sebenarnya, secara geologis, dataran tanah Makkah dan Madinah ini adalah lempengan yang berpotensi gempa bumi. Dengan karakter tanah dan bebatuan serta perbukitan yang saya lihat, daerah ini sangat berpotensi gempa bumi?’. Lalu para jamaah umroh yang mendengar penjelesan itu bertanya, “Lalu kenapa disini jarang terdengar ada bencana gempa bumi dibanding di Indonesia.?” Dia menjawab, “Saya mendengar dari para ustadz, jika suatu daerah dipenuhi dengan zikir kepada Allah swt, maka ia akan terhindar dari bencana alam. Begitu kan ustadz?” sambal melihat ke arah saya. Saya pun mengangguk-angguk tanda setuju.
Dalam sejarah, Madinah pernah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab pun mengetukkan tongkatnya ke bumi dan berkata, “Wahai bumi, adakah aku tidak berbuat adil?”. Lalu berkata lantang kepada orang-orang, “Wahai penduduk Madinah adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian.” (Ibnu al-Hajar al-Asqalani, Fath-al Baari IX/244).
Muhammad Jamhuri
Madinah, Senin 6 Agustus 2018
Musim Haji 2018 M/1439 HTa
No comments:
Post a Comment
Any comment? Please....